Seorang sahabat pernah bertanya kepada saya setelah saya selesai menjadi ketua salah satu organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan di Banten. Ia bertanya tentang rencana dan hal apa yang ingin saya capai kedepan. Saya jawab secara spontan saja “Pokoknya saya mo nyalon legislative tahun 2009”. Padahal jawaban saya juga tidak terlalu serius-serius amat. Tapi kawan saya tadi mengomentari rencana saya tersebut. Ia bilang berjuang itu masih banyak lahan yang lain bukan hanya jadi anggota dewan, lagian jadi anggota dewan kerjaannya nggak halal. Begitulah kira-kira kawan saya mengomentari tentang legislatif. Saya sempat berfikir dan bertanya-tanya, apakah memang seburuk itukah citra lembaga legislatif dan anggota dewan? . Ternyata menjadi anggota dewan dianggap pekerjaannya tidak halal dan cenderung berperilaku korup. Jangan-jangan komentar kawan saya tadi mewakili persepsi hampir seluruh masyarakat terhadap lembaga legislatif dan anggota dewan.
Ternyata benar saja, persepsi kawan saya tadi ternyata tidak jauh berbeda dengan hasil survei TII (Transparency International Indonesia) yang menempatkan parlemen atau legislatif sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah berita yang mengagetkan. Berita tersebut lebih berperan menguatkan daripada mengagetkan. Sebab, performa lembaga perwakilan rakyat memang sudah tidak terlalu baik.
Mungkin benar, seperti yang dikatakan Ketua DPR Agung Laksono, dalam penelitian tersebut, ada faktor kesalahan. Namun, tingkat kesalahan itu -seandainya ada- bisa dipastikan tidak akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hasil survei TII tersebut.
Mengapa demikian? Jawabannya, -sekali lagi- karena tingkat kepercayaan rakyat kepada dewan memang sudah sedemikian rendah. Sudah sekian lama rakyat disuguhi berita korupsi yang melibatkan dewan. Rakyat juga menyaksikan, banyak perilaku dewan yang mengarah ke tindak korupsi. Juga perilaku tidak etis lainnya.
Buruknya citra lembaga legislative semakin jelas saja semenjak dikeluarkan PP No.37 tahun 2006 yang memberikan banyak tunjangan kepada anggota dewan. Kebijakan ini merupakan suatu regulasi yang dibuat untuk memberikan "subsidi" yang sangat besar kepada wakil rakyat di daerah-daerah.. Penggunaan keuangan daerah yang sudah seharusnya lebih diutamakan untuk kepentingan publik menjadi terabaikan dengan adanya PP 37/2006 dikarenakan alokasi yang cukup besar harus disiapkan untuk para anggota dewan daerah sehingga alokasi-alokasi untuk kepentingan publik harus dipangkas untuk memenuhi tuntutan para anggota dewan .
Keberadaan PP 37/2006 telah melanggar azas pengelolaan keuangan Negara yaitu: efesien, ekonomis, kepatuhan, disiplin anggaran dan keadilan. Dengan adanya kenaikan penghasilan anggota dewan yang dibebankan dalam APBD merupakan suatu bentuk ketidak sesuaian dengan azas pengelolaan keuangan Negara. Dalam APBD disyaratkan yang lebih diutamakan adalah peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan pelayanan kesehatan, fasilitas social dan fasilitas umum.
Tentu saja sangat tidak etis menambah jumlah tunjangan ditengah situasi masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan.Padahal kinerja lembaga legislatif selama ini sangat tidak memuaskan. Ditambah lagi kesulitan ekonomi yang masih membelit rakyat. Hal inilah yang semakin memperburuk citra lembaga legislatif yang dianggap kerjanya hanya duduk, dengar dan duit.
Perilaku Korup
Ada sebagian bahkan hampir seluruh anggota legislatif kita masih tetap merasa kurang mendapat gaji dan tunjangan. Padahal jumlah gaji dan tunjangan untuk mereka sangatlah besar. Yang menjadikan para anggota legislatif kita selalu merasa kekurangan adalah karena sebagian gaji mereka harus mereka setorkan ke partai mereka masing-masing. Belum lagi sebagian masyarakat kita yang juga menganggap para anggota legislatif adalah orang yang berduit. Maka, proposal-proposal permohonan bantuan dana menumpuk dimeja para anggota legislatif kita. Tentu saja jika tidak memberi uang akan dianggap pelit dan khawatir tidak dipilih lagi pada periode mendatang. Padahal budget mereka dari gaji tentu tidaklah cukup untuk meladeni permintaan masyarakat atau konstituen mereka. Maka jadilah para anggota dewan tersebut bermain proyek, korupsi dan sebagainya.
Tugas besar para anggota legislatif kedepan adalah memperbaiki citranya. Agar lembaga legislatif tidak lagi dianggap lembaga korup, tidak berpihak kepada rakyat, tidak hanya duduk, dengar dan duit saja. Hal ini mutlak dilakukan. Sebab, bagaimana mungkin cita-cita untuk memperbaiki nasib masyarakat ini akan terwujud jika tidak ada kepercayaan dari masyarakat yang notabene adalah yang memberikan mandat untuk memperjuangkan nasib rakyat. Padahal kepercayaan (Trust) menurut Francis Fukuyama adalah modal sosial (Social Capital) yang sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Tentu saja krisis kepercayaan ini akan menimbulkan krisis politik yang berlarut-larut tanpa solusi, membuat borok-borok makin bau, ditambah kurangnya kapabilitas dan komitmen para anggota legislatif. Kemudian hal ini akan menyebabkan –seperti yang disebut Habermas- munculnya krisis legitimasi, yaitu krisis yang bercirikan ketidak percayaan terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara .
Setelah krisis legitimasi, akan muncul krisis pamungkas, yakni krisis motivasi - hilangnya semangat dan timbul rasa putus asa dari sebagian besar rakyat Nusantara terhadap tingkah polah para pemimpinnya. Krisis motivasi akan menurunkan produktifitas kerja sub sistem sosio kultural yang diperlukan oleh sub sistem ekonomi, lalu ketidak percayaan terhadap sistem politik.
Oleh karena itu anggota legislatif kita kedepan dalam rangka memperbaiki citranya hendaknya lebih peka kepada persoalan masyarakat dan melakukan tugas dan fungsi secara baik. Baik dari aspek legislasi, budgeting maupun pengawasan terhadap kinerja eksekutif. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana para anggota legislatif kita memproduksi kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat.
Jika perilaku anggota legislatif tak juga kunjung membaik. Maka, malapetaka dahsyat tidak akan kunjung surut menerpa negri kita. Kalau masyarakat tidak percaya lagi kepada anggota legislatif yang notabene adalah wakil mereka. Lantas, kepada siapa suara dan aspirasi akan kita titipkan kelak untuk memperjuangkan nasib ini ?. Wallahu’alam.