BAGASKARA MANJER KAWURYAN

Monday, September 17, 2007

PEMERINTAH DAN KRISIS KEPERCAYAAN

Dalam harian kompas (3/9/2007) diberitakan bahwa masyarakat tak lagi mempercayai Negara dan birokrasi. Hal ini meyebabkan posisi Negara semakin tambun dan melemah. Padahal Negara memiliki fungsi untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dan bukan semakin membebani rakyat. Fenomena seperti kenaikan tol, kontroversi konversi minyak tanah, buruknya pengelolaan transportasi laut, harga-harga sembako yang terus merangkak naik, menjadi penanda semakin lemahnya institusi negara.
Ketidakmampuan Negara dalam memberikan kesejahteraan ini lah yang akhirnya menjadikan rakyat semakin tidak percaya. Padahal kepercayaan (Trust) adalah modal social yang dibutuhkan untuk mengkonkritisasi sejumlah proyek-proyek kesejahteraan social.
Francis Fukuyama (2001), mendefinisikan Trust atau kepercayaan sebagai harapan akan keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma serta aturan yang disepakati dan dijalankan bersama demi kebaikan dan kemaslahatan bersama. Norma ini bisa berisi persoalan adiluhung berkaitan dengan Tuhan, Agama dan keadilan.
Namun, Kepercayaan agaknya sudah menjadi barang langka di negeri ini. Saling curiga dan berbohong sudah terbiasa. Pejabat terbiasa membohongi rakyat hingga rakyat pun telanjur tidak percaya pada pejabat. Padahal, kepercayaan sangat dibutuhkan bagi pengembangan masyarakat dan kemajuan sebuah bangsa secara ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Ketidakpercayaan rakyat bukan hanya pada terjadi pada pejabat atau tokoh politik saja tapi juga pada tokoh-tokoh publik lainnya yaitu, tokoh agama, intelektual, ekonom, seniman, aktifis mahasiswa, dan sebagainya.
Maka tak heran jika masyarakat tidak lagi pernah peduli dengan persoalan pembicaran tentang perubahan. Fakta seperti ini wajar muncul dimasyarakat. Sebab, janji perubahan yang sejak dahulu di gembar gemborkan oleh semua kalangan tak juga kunjung tiba. Hal ini menyebabkan rakyat menjadi frustasi, putus asa dan kehilangan motivasi dalam menyikapi persoalan pembangunan.
Reformasi dan demokratisasi yang hadir pada tahun 1998 tentu menjadi tumpuan harapan publik akan perbaikan bangsa ini. Namun, sejak reformasi dicetuskan dan demokrasi mulai tumbuh ternyata perubahan nasib rakyat tak kunjung datang. Mimpi kesejahteraan yang dahulu menggelayut tatkala reformasi diperjuangkan seolah kini raib entah kemana. Jadilah kini reformasi dan demokrasi menjadi tertuduh. Cukup banyak orang menyalahkan reformasi sebagai penyebab kehidupan dinegri ini menjadi lebih sulit. Reformasi semakin menyebabkan rakyat menjadi repot-nasi. Harga-harga mahal, sekolah masih tetap mahal, PHK terjadi dimana-mana, pengangguran semakin meningkat serta kemiskinan yang semakin tak terkendali.
Kondisi ini persis seperti yang ungkap oleh Eef saefullah Fatah : Demokratisasi adalah pergumulan antara harapan dan kekecewaan, kabar baik dan kabar buruk, masa depan yang benderang dan masa lampau yang gulita. Sejak reformasi tahun 1998 sampai saat ini, membuktikan betapa harapan, kabar baik, dan masa depan benderang tak selalu jadi pemenang. Ia tak hanya menghasilkan para pemenang dan penikmat tapi juga para pecundang dan korban. Bagi sebagian kita, hal-hal baik yang dijanjikan demokratisasi datang terlalu lamban, malu-malu, satu persatu, sementara hal-hal buruk dibaliknya dan yang semestinya dilawannya justru selalu menyalip, datang lebih cepat dan berombongan. Ia pun jalan panjang, melelahkan dan seolah tak berujung.
Lantas, apakah kita mesti berputus asa dengan situasi yang serba pelik itu. Disatu sisi demokrasi adalah jembatan kebebasan untuk menentukan perjalanan hidup menuju perbaikan, disisi lain demokrasi memiliki jebakan lain yaitu kebebasan yang tak terkendali, politik yang carut marut, pertikaian, konflik, pembangunan ekonomi yang terhambat sehingga kesejahteraan yang dijanjikan oleh demokrasi semakin kabur dan bak fatamorgana.
Krisis Legitimasi
Tentu saja krisis kepercayaan ini akan menimbulkan krisis politik yang berlarut-larut tanpa solusi, membuat borok-borok makin bau, ditambah kurangnya kapabilitas dan komitmen para lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kemudian hal ini akan menyebabkan –seperti yang disebut Habermas- munculnya krisis legitimasi, yaitu krisis yang bercirikan ketidak percayaan terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara .
Setelah krisis legitimasi, akan muncul krisis pamungkas, yakni krisis motivasi - hilangnya semangat dan timbul rasa putus asa dari sebagian besar rakyat Nusantara terhadap tingkah polah para pemimpinnya. Krisis motivasi akan menurunkan produktifitas kerja sub sistem sosio kultural yang diperlukan oleh sub sistem ekonomi, lalu ketidak percayaan terhadap sistem politik.
Penghianatan Agen
Masalah ketidakpercayaan ini muncul tentu bukan berarti tidak adanya manusia baik dinegri ini. Hanya saja para ”agen perubahan” yang sudah menjadi icon public hampir kebanyakan berselingkuh dan berkhianat terhadap komitmen perubahan. Mereka berkhianat, menghindar atau menyalahgunakan peran dan fungsi yang selayaknya mereka mainkan di tengah masyarakat untuk perubahan.
Sejarawan Inggris, Arnold Toynbee, menggarisbawahi peranan para agen perubah dalam teori "minoritas kreatif". Mereka potensial menjadi sejumlah kecil orang yang memiliki energi lebih besar dari masyarakatnya yang letih, memiliki kejernihan di tengah lautan kekeruhan pikiran di sekitarnya, memiliki semangat jauh lebih besar dari masyarakatnya yang putus asa, memelihara dan terus menyebarluaskan optimisme akan besok yang lebih baik di tengah luapan pesimisme di sekitar mereka. Dan, peradaban besar, kata Toynbee, tidak pernah dibangun oleh orang banyak, tetapi oleh orang sedikit semacam itu.
Namun, bangsa kita saat ini tengah mengalami kelangkaan manusia-manusia seperti itu. Kita telah banyak mengalami defisit agen perubah, baik dari kalangan birokrat, politisi, seniman, aktifis mahasiswa, kaum agamawan, dan lain sebagainya.
Para birokrat berkhianat menjadi pelayan bangsa, bahkan mereka menjadikan diri mereka raja. Urusan publik menjadi lancar kalau ada ”uang siluman”. Para politisi tidak lagi sibuk mengurusi masalah regulasi dan penganggaran yang berpihak kepada urusan-urusan publik. Mereka hanya sibuk mengotak-atik angka –angka sejumlah proyek, main intrik politik dan semacam dagelan lainnya. Para seniman tidak lagi menjadi pengkritik-pengkritik sosial politik yang ulung. Para seniman kini lebih asyik menjadi agen-agen pemerintah. Lebih senang kepada seni popular, karena budaya pop lah yang sedang trend kemudian melupakan tugas untuk membantu membangun karakter bangsa lewat seni.
Para agamawan tak lepas dari persoalan serupa. Selayaknya mereka memainkan peranan sebagai pembentuk kesadaran dan kekuatan serta perebut kesempatan bagi para jemaah mereka. Selayaknya mereka membangun kesadaran jemaah untuk tidak beragama secara buta, melainkan secara rasional dan dewasa. Alih-alih membangun jemaah seperti itu, para agamawan cenderung senang termanjakan para pengultus, pengikut dan massa.



Menjadikan Diri Kita Agen
Krisis yang melanda bangsa saat ini bukanlah merupakan bahaya besar bangsa ini. Jadi ia tidak perlu disesali apalagi dikutuk. Kita hanya perlu menyadari bahwa defisit ”agen perubahan” lah problem yang paling besar dalam era demokrasi saat ini. Hal itu menandakan kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.
Namun tentu kita tak perlu berharap menantikan kembali hadirnya para agen seperti kita sedang menunggu godot atau ratu adil. Sesungguhnya agen perubahan bukan hanya mereka yang berprofesi sebagai pejabat publik, aktifis mahasiswa, seniman, budayawan, kaum agamawan, dan tokoh-tokoh publik lainnya. Agen perubahan juga bukanlah tokoh suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat dan kemudian kembali lagi ke langit.
Para agen itu tentu saja sudah ada disini. Mereka ádalah aku, kau, dan kita semua. Kita hanya belum memulai untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekeliling kita. Merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung. Orang-orang biasa seperti itulah yang kita butuhkan yang mampu melakukan kerja-kerja besar. Bukan orang-orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya.
Membangun kualitas orang per orang yang tak bergantung pada tokoh atau agen adalah jalan keluar dari defisit agen dan meluasnya ketidakpercayaan pada tokoh yang makin menggejala di tengah kita. Tokoh atau agen memang penting, tetapi yang lebih penting adalah membangun orang per orang yang justru terus terjaga dan pada akhirnya ikut menjaga dan mengawasi peran-peran keagenan dan ketokohan.