BAGASKARA MANJER KAWURYAN

Friday, June 06, 2008

KECEMASAN DI HARI KEBANGKITAN

Mei ini kebangkitan nasional memasuki usia satu abad, sekaligus juga bertepatan dengan peringatan reformasi yang memasuki satu dasawarsa. Dua momentum penting ini beriringan dibulan Mei ini. Dua momentum ini diharapkan menjadi tonggak untuk mengembalikan harapan kebangkitan bangsa ini. Namun kebangkitan menjadi makna yang paradoks jika kita dihadapkan pada kenyataan yang terjadi dimasyarakat.

Momen kebangkitan semestinya menjadi sarana untuk menghadirkan kebangkitan dalam jiwa rakyat dengan membangun harapan dan kepastian akan masa depan. Namun , hari kebangkitan malah menjadi momen kecemasan rakyat atas nasib dan masa depan mereka dalam menjalani kehidupan ini. Ditengah keterpurukan di berbagai sektor dan daya beli masyarakat yang semakin rendah, pemerintah malah membuat kebijakan menaikan harga BBM.

Masyarakat kini telah terjangkit penyakit rasa cemas (anxiety) dan putus asa (despair). Kecemasan bermula dari ketidakpuasan terhadap situasi yang sedang berlangsung, dan kekhawatiran menyongsong masa depan yang serba tak pasti. Krisis dan tekanan yang silih berganti memburamkan pandangan, dan mengubur harapan yang tersisa.

Para buruh masih merasa cemas akibat kebijakan UMR yang tak kunjung naik, dan sistem kontrak serta kebijakan outsourcing yang sangat merugikan para buruh. Para petani tak lagi menikmati panen raya karena harga gabah tak kunjung manusiawi. Masyarakat lainnya di liputi rasa cemas akibat kenaikan harga-harga yang tiap hari terus menerus merangkak naik. Situasi ini serba tak terkendali dan semakin memburamkan masa depan.

Kebangkitan nasional dan reformasi seolah seolah hanya menjadi eforia pesta tanpa makna. Sebagian merayakannya dengan berdiskusi, melakukan kirab budaya, konser musik, sebagiannya lagi dengan berdemonstrasi. Namun, ia tak juga mengembalikan harapan yang belakangan ini sedang kembang kempis. Kecemasan dan putus asa kini telah menjangkit diulu hati sebagian besar rakyat negeri ini.

Baca atau lihatlah di media kita, berapa banyak orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri karena mengalami putus asa dalam kehidupan. Mereka tak lagi kuat menanggung beban hidup yang kian menghimpit. Ada pedagang gorengan di Pandeglang, Banten yang akhirnya mengakhiri hidupnya karena pendapatannya tak juga kunjung naik dari menjual gorengan, sedangkan harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik.

Atau juga kisah Teguh, seorang anak SD yang akhirnya memilih bunuh diri, sebab ia mesti menahan lapar tiap hari. Sampai akhirnya sakit yang datang terus-menerus membuat Teguh putus asa. Ia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di rumah neneknya yang sepi dan dingin. Tidak ada secarik kertas, tidak ada pesan pendek lewat ponsel, tidak ada ucapan selamat tinggal. Teguh tidak meninggalkan catatan kepada para perumus kebijakan di negeri kita ini dan juga tidak mengirim pesan kepada para elite yang sedang bertempur memperebutkan kekuasaan. Tetapi Teguh telah memberikan simbol protes yang amat kuat kepada kita semua yang lupa terhadap nasib seorang anak miskin seperti dia. Teguh telah menjadi wakil bagi jutaan anak seperti dia. Anak-anak yang bisa saja frustrasi dan putus asa dan kemudian mengambil jalan pintas seperti dia.

Ironisnya, para elit pemimpin negeri ini tak kunjung sadar dengan situasi serba pelik ini. Sejatinya mereka memberikan perhatian penuh kepada rakyat yang saat ini merasakan kecemasan yang mendalam, namun mereka masih menyibukan dirinya pada konflik internal partai dan persiapan pemilu 2009.

Seolah-olah pekerjaan utama para pemimpin dan elit negeri ini bukan untuk mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat, melainkan menjauh dari rakyat. Jika rakyat ada didesa, mereka lari menjauh ke kota. Jika rakyat ke kota, mereka akan menjauh ke dalam ruangan. Jika rakyat kelaparan, mereka sibuk kekenyangan. Jika rakyat menangis karena harga-harga merangkak naik, mereka tertawa sambil naik mobil keluaran terbaru.

Permasalahan

Kita sebagai suatu bangsa mengidap permasalahan–permasalahan yang begitu berat, baik secara individu maupun kolektif. Budayawan Koentjaraningrat menyebut kita mengidap budaya “menerabas”, budaya potong-kompas, budaya miopis (rabun dekat). Ingin cepat sukses, kaya, atau berkuasa dengan usaha sedikit, dan kalau perlu tabrak aturan. Tak mampu melihat masa depan yang jauh, paling banter melihat dalam periode “lima tahunan”. Budaya “menanam jagung” yang tiga bulanan, ketimbang budaya “menanam jati” yang harus menunggu puluhan tahun. Budaya “jalur cepat” menuju sasaran, kalau perlu melangkahi kepala orang. Budaya selebritis instan yang ingin populer dalam sekejap. Atau, budaya “satu hari untung beliung”. Penyakit kronis yang kita idap adalah kurang menghargai mutu, memburu rente dalam ekonomi, politik uang dalam kekuasaan, gelar palsu dalam pendidikan, barang tiruan dalam perdagangan, serta budaya judi di kampung-kampung. Dalam budaya pragmatis dan hedonis itu, ideologi tak mendapat tempat, idealisme hanya tersisa di pojok-pojok sempit ruang kuliah atau kelompok diskusi publik.

Permasalahan bangsa ini menjadi begitu kompleks dan berkembang kumulatif, makin lama makin menumpuk dan memuncak, sehingga akhirnya kita sebagai suatu bangsa tak bisa lagi mencari jalan keluar. Akhirnya bangsa ini mengidap permasalahan-permasalahan serius baik secara individu maupun secara kolektif. Permasalahan pertama bersifat psikologis, yakni merajanya rasa cemas (anxiety) dan putus asa (despair). Kedua bersifat psikososiologis yaitu sifat hina dan malas. Ketiga bersifat sosioantropologis yaitu sifat jiwa pengecut dan kikir. Dan yang keempat besifat ekonomi politis, yaitu jeratan utang dan dominasi kekuatan asing .

Penutup

Dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang masih menjangkiti bangsa ini. Momen kebangkitan ini mesti dijadikan sebagai sarana perenungan kita semua. Merenungkan masalah bangsa memerlukan kearifan dan menghendaki disiplin berpikir sistemik. Tak ada satu pun persoalan bangsa yang terlepas kaitannya dari persoalan lain. Hubungan antar perkara itu dapat bersifat positif (membawa perbaikan) atau negatif (memperparah keadaan). Karena itulah kecermatan bekerja dan keluasan wawasan pada segenap komponen bangsa dihajatkan. Jangan sampai para pemimpin bangsa terjebak pada sikap parsial atau sektoral, bukan memecahkan keseluruhan masalah, malah menanam bom waktu yang suatu saat bisa meledak dengan dahsyat.

Oleh karenanya sebagai bangsa yang beriman, kita patut menyimak dan menghayati kembali doa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Doa itu bermakna: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan putus asa, aku berlindung kepada-Mu dari sifat hina dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari jiwa pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari jerat utang dan dominasi orang lain” (HR Abu Dawud).

Dalam momen kebangkitan ini juga, bangsa ini perlu kembali menata cara pandang, membiakkan mimpi, memfokuskan masa depan, membangun gairah dan militansi, serta menancapkan cita-cita besar yang hidup dan terasakan di dalam hati. Sehingga energi bangsa ini tidak terbuang dalam gerak chaotic melingkar, namun mengalir sinergis dan fokus. Untuk itu, kita butuh kehangatan ideologi. Tanpa ideologi manusia hanya berlari mengejar peradaban materi, namun hampa dalam aspek emosi dan spirit. Secara kolektif jadilah kita bangsa yang adem-ayem, miskin romantika —negara besar, namun dipenuhi dengan manusia kerdil yang tidak punya obsesi.