BAGASKARA MANJER KAWURYAN

Thursday, October 16, 2008

PEMIMPIN ATAU KARAKTER SOSIAL BARU?

(Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Banten 22/09/2008)
Merenungkan keadaan dan kondisi bangsa memerlukan sistem berfikir yang sistemik. Tak mudah memang mengidentifikasi persoalan kebangsaan yang karut marut ini. Antar masalah satu dan yang lainnya saling berkaitan satu sama lain. Sejak krisis ekonomi dan moneter satu dasawarsa silam, bangsa Indonesia belum berhasil lepas dari jerat masalah yang kini menjadi benang kusut krisis nasional multidimensional. Krisis ekonomi, politik, moral, dan budaya menjadi lebih mendalam. Perubahan yang sangat cepat, tatanan demokrasi yang belum mantap, arus globalisasi yang diawali dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat, program pemulihan krisis yang belum tuntas diikuti pergantian pemimpin yang relatif cepat. Sementara tuntutan demokrasi, otonomi daerah dan kebebasan pers membuat pengelolaan negara tidak semudah yang dibayangkan. Sementara tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat masih tergolong sangat rendah.
Persoalan-persoalan diatas adalah pekerjaan berat bagi pemimpin yang akan lahir pada pemilu 2009 nanti. Situasi serba pelik ini, ditambah pula dengan kondisi psikologis rakyat yang tengah diserang penyakit putus asa (despair) dan rasa cemas (anxiety) diakibatkan ketidakpastian rakyat akan masa depan mereka disebabkan krisis yang tak henti-hentinya menerpa. Sedangkan para pemimpin, lembaga politik, dan elit-elit politik semakin menunjukan perilaku yang tidak memberikan titik cerah dan semakin memburamkan masa depan.
Menjelang pemilu 2009, partai politik , para calon anggota legislatif, dan kandidat presiden, kembali menjajakan perubahan kepada rakyat. Ada kandidat yang masuk kategori tua ada juga yang mengaku dari kalangan kaum muda. Yang tua merasa memiliki pengalaman untuk memimpin bangsa, sedangkan yang muda merasa saatnya pemimpin baru dan muda yang menjadi pemimpin bangsa karena pemimpin tua dianggap gagal.


Pemimpin
Penjelasan yang paling sederhana dan bisa dinalar dengan mudah adalah adagium bahwa “pemimpin adalah produk masyarakatnya”. Pemimpin nasional adalah cermin dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Perlakuan rakyat terhadap pemimpinnya adalah refleksi sikap budaya itu.
Kita sungguh cukup prihatin dengan realitas politik dewasa ini. Apatisme politik masyarakat berubah menjadi pragmatisme yang akut. Dalam memilih pemimpin nasional maupun daerah, transaksi politik lebih dominant ketimbang nilai-nilai substantive kepemimpinan. Realitas seperti ini muncul disebabkan selama ini para pemimpin, elit politik, dan partai politik tak pernah membuktikan janji politik setelah terpilih.
Oleh karenanya pemimpin yang akan lahir pada pemilu 2009 nanti tidak lepas dari budaya dan karakter kejiwaan yang kini dianut mayoritas rakyatnya. Jika rakyat nya masih memiliki karakter-karekter korup, maka pemimpin yang dihasilkan tidak akan jauh dari itu. Pemimpin baru dengan semangat dan karakter baru yang progresif yang kita harapkan akan mampu membawa perubahan, mungkin hanya akan jadi mimpi.
Tentu kita prihatin, ditengah harapan sebagian besar rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah memiliki pemimpin hasil dari pemilu. Di sisi lain, rakyat semakin pragmatis dan apolitis. Transaksi dengan pendekatan pragmatis lebih dipilih oleh sebagian besar masyarakat, ketimbang benar-benar melihat partai atau kandidat yang benar-benar tulus untuk memperjuangkan rakyat. Perilaku seperti ini muncul akibat ketidakmampuan para partai politik, elit politik, dan para pemimpin yang selama ini telah diberi kepercayaan oleh rakyat dalam memenuhi harapan public. Sebagian besar rakyat juga saat ini tidak lagi percaya terhadap pilkada atau pemilu untuk menyelesaikan krisis dan mampu memenuhi harapan-harapan rakyat.
Jadi, pemimpin tua atau pun pemimpin muda yang akan memimpin bangsa ini tentu akan sangat berbanding lurus dengan karakter umum pemilihnya yang saat ini cenderung pragmatis, kehilangan nurani, deficit kejujuran, mudah dibeli, dan bermental korup.


Ratu Adil
Lantas, apakah harapan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas yang akan mampu menyelesaikan krisis tidak akan kita dapatkan pada pemilu 2009 nanti?. Mungkin kita, dan sebagian besar rakyat sedang menanti pemimpin besar itu. Bahkan kita cenderung mengharapkan pemimpin yang serupa dengan Supermen atau Ratu Adil yang mampu menyelesaikan krisis secepat kilat.
George McTurnen Kahin, pernah mengingatkan, bahwa tak tergantung pada diri sendiri dan senang meminta orang lain –orang besar atau pemimpin- untuk menyelesaikan perkara kita, merupakan penyakit jiwa yang diderita bangsa ini. Ketika disergap krisis dan kesulitan, orang Indonesia sangat mudah untuk mencari “pegangan ke atas”. Semakin rumit masalah yang dihadapi, maka semakin besar kecenderungan untuk menunggu datang nya orang besar, messiah, ratu adil, penyelesai segala perkara.
Ketika mitos ”Ratu Adil” (messianism) masih mengontrol alam bawah sadar budaya masyarakat kita dalam memilih pemimpin, maka pemimpin dipaksa menjadi “setengah dewa” yang tercerabut dari bingkai kemanusiaannya. Atas nama kharisma, harapan setinggi langit disandangkan kepadanya. Maka, siapa menabur harapan akan menuai kecewa. Itulah yang terjadi, ketika aspek kemanusiaan dari seorang pemimpin muncul saat rakyat terbangun dari mimpi, bersama kesadaran kehidupan ekonomi dan politik harian yang tak kunjung sesuai harapan. Kesadaran itu umumnya datang terlambat. Sang pemimpin sudah terlanjur jauh melenceng, dan kenyataan sudah semakin jauh dari harapan. Borok pemimpin sudah menjadi nanah yang menjijikan. Ratu Adil sudah berubah menjadi “Buto Ijo”, yang caci-maki dan sumpah-serapah pantas dilontarkan kepadanya.
Oleh karenanya, yang kita butuhkan kedepan menurut Alvin Toffler adalah bukanlah terciptanya seorang superman yang ideal, suatu spesies pahlawan baru yang melangkah ditengah-tengah kita, akan tetapi adalah suatu perubahan yang dramatis di dalam unsur tabiat yang terdapat secara meluas pada masyarakat- bukan manusia baru, tetapi suatu karakter social yang baru. Oleh karena itu, tugas kita bukanlah mencari “manusia” legendaris itu, akan tetapi mencari unsur tabiat yang kiranya akan disanjung oleh peradaban hari esok.
Lalu karakter social apa yang mesti dimiliki oleh pemimpin dan rakyat Indonesia kedepan?. Karakter social yang baru itu mungkin bukanlah hal-hal baru, bisa jadi ia adalah karakter yang sesungguhnya sudah melekat pada manusia Indonesia, namun saat ini tertutupi oleh karakter-karakter negative yang berkembang pada kejiwaan manusia Indonesia.
Jadi, Indonesia kedepan adalah Indonesia yang bukan hanya dipimpin oleh pemimpin baru. Pemimpin baru hanyalah sebuah celah dari mana secercah kecil cahaya dari luar bisa menerabas masuk ke dalam ruangan kita yang gelap. Akan tetapi yang kita harapkan dan yang mesti kita bangun adalah lebih dari itu yaitu terciptanya suatu karakter social yang baru yang dijiwai dan menjadi karakter social masyarakat Indonesia. Karakter itu adalah cinta Tuhan, jujur, disiplin, peka social, pekerja keras, bertanggungjawab, dan anti korupsi.
Tak akan pernah ada perubahan dan demokrasi yang dihadiahkan oleh pemimpin. Tak ada masa depan yang dibangunkan oleh pemimpin, sebesar apa pun ia. Kita lah yang mesti membangun masa depan itu. Demokrasi dan perubahan selalu merupakan hasil pertarungan yang melibatkan keringat kita sendiri.
Oleh karena nya, tanpa pembangunan karakter sosial, barangkali kita akan tetap kesulitan mendapatkan pemimpin Indonesia yang memiliki kapabilitas (kompetensi) dan memiliki kredibilitas moral. Itulah mengapa masa depan Indonesia laksana lorong panjang yang menganga tanpa jelas menuju ke mana. Wallahu’alam