BAGASKARA MANJER KAWURYAN

Saturday, May 09, 2009

WAJAH BURUK KEKUASAAN

(Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Banten, April 2009)
Dalam politik kita mengenal ungkapan klasik Lord Acton, Politic is a power, Power Tends To Corrupt, politik adalah kekuasaan dan kekuasaan itu cenderung korup. Ungkapan ini terasa sangat relevan terus dalam mengiringi kondisi social politik keindonesiaan. Atau juga seperti yang diungkapan Iwan Fals dalam sebuah lagunya “apakah selamanya politik itu kejam”. Tak ketinggalan juga obrolan-obrolan yang mungkin sering kita dengar dalam keseharian di masyarakat yang banyak mengatakan “sekarang para calon berkampanye dekat dengan masyarakat nanti juga setelah jadi lupa”. Benarkah politik dan kekuasaan itu seperti itu adanya yaitu, korup,kejam, dan sering lupa terhadap rakyatnya.
Ungkapan-ungkapan bernada curiga dan skeptis masih terus membayangi ruang politik dan kekuasaan. Lalu pantaskah kekuasaan itu untuk selalu dicurigai ?. Tidak adakah maksud baik dan kejujuran dibalik kekuasaan?.
Kini, kita telah melewati satu fase pemilu, yaitu pemilu legislative. Ada banyak janji yang bertebaran diseantero negri saat kampanye politik berlangsung menjelang pemilu legislatif kemarin. Mungkin sebagian masih ingat, mungkin juga sebagian telah lupa janji-janji para politisi. Atau bahkan para politisi sendiri juga telah lupa terhadap janji-janji mereka sendiri.
Kita bersyukur pemilu relative berjalan lancar dan damai. Tak ada gejolak yang berarti setelah pemilu. Meskipun banyak kekurangan yang terjadi dan disertai protes disana sini oleh berbagai kalangan. Semoga semua ikhlas menerima hasil pemilu yang telah lewat itu. Meskipun pertanyaan-pertanyaan kecil masih bergelayut disanubari jutaan rakyat Indonesia : adakah perbaikan setelah pemilu ini? Adakah sembako tidak naik lagi? Adakah para pengangguran mendapat pekerjaan? Adakah kemiskinan bisa ditanggulangi?.
Tak mudah menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu. Tidak semudah janji-janji yang pernah diucapkan saat kampanye kemarin. Begitu mudah kemarin para politisi berkata tentang kesejahteraan, tentang kemiskinan, tentang sembako murah, tentang pekerjaan, dan lain-lain.
Padahal, saat pemilu tahun 2004 kemarin dan beberapa pilkada yang telah dilaksanakan masih menyisakan janji-janji yang belum terpenuhi. Janji serupa tentang kesejahteraan bertebaran namun janji kesejahteraan yang dulu juga tak juga kunjung tiba. Realisasi memang tidak semudah janji-janji yang diucapkan. Tapi mengapa saat berkampanye begitu mudah nya para politisi berjanji. Bukankah janji adalah hutang dan hutang harus dibayar?.
Tak bisakah saat kampanye para politisi bicara dengan kejujuran dan keterbukaan kepada rakyat bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan yang diinginkan tidaklah mudah dan membutuhkan kerja keras. Namun setelah itu dengan sungguh-sungguh berupaya mewujudkan harapan masyarakat tersebut. Tidak sebaliknya, janji diutamakan realisasi tergantung nanti.
Mungkin setelah pemilu ini para politisi lupa terhadap janjinya. Sebab, setelah ini para politisi akan berkonsentrasi untuk pemilu presiden. Setelah pemilu presiden, datang lagi hiruk pikuk pilkada, dan seterusnya. Politisi kita hanya disibukan dari pemilu ke pemilu dan dari pilkada ke pilkada. Tugas utama sebagai anggota legislatif kerap diabaikan, apalagi untuk memperjuangkan dan mewujudkan janji-janji yang telah diucapkan saat kampanye dulu. Bahkan, seperti kemarin banyak politisi yang lebih mementingkan mempertahankan kekuasaan ketimbang menjalani tugas nya sebagai wakil rakyat. Mereka lebih asyik melakukan kampanye ketimbang menjalankan amanah rakyat yang masih tersisa itu.
Begitulah sifat kekuasaan. Kekuasaan akan digunakan lagi untuk mempertahankan kekuasaan. Ibaratnya dikenyam sekali, ketagihan seterusnya. Maka tidak mengherankan jika banyak orang yang berebut dan berambisi mempertahankan kekuasaannya dengan sekuat tenaga dan dengan cara apapun.

Publik Yang “Terjaga”
Begitulah kekuasaan politik yang kita lihat selama ini. Seolah-olah politik tidak memiliki sisi baik dan niat luhur bagi para pelakunya. Padahal, proses politik sebagaimana proses proses yang dijalani manusia (ekonomi, sosial, keagamaan) merupakan sebuah hal yang tidak bisa dilepaskan pada keberadaan dan kondisi dari lingkungan dimana proses politik itu berjalan dan berkembang. Politik selalu saja didasari atau istilahnya dibatasi oleh kehendak kehendak atau nilai nilai moral dimana nilai itu dipercaya dan dipertahankan kelangsungannya oleh masyarakat itu sendiri. Politik itu juga pada finalnya atau pada tujuan idealnya merupakan sesuatu yang menjadi kehendak dari sebagian besar masyarakat. Mewujudkan masyarakan yang makmur, adil dan sejahtera, merupakan impian dari hampir semua proses politik yang ada dalam dunia manusia.
Sesungguhnya begitu luhur dan agung tujuan dari kekuasaan politik, yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur,adil dan sejahtera. Namun realitasnya, suguhan yang disajikan oleh dunia politik dan kekuasaan selama ini terlanjur buruk. Sehingga, politik dan kekuasaan selalu dikonotasikan negatif, dicurigai, dan dianggap tidak pernah punya niat baik.
Buruknya citra politik dan kekuasaan semestinya tidak menjadikan masyarakat apatis, alergi, dan muak. Rakyat boleh kecewa ataupun curiga terhadap politik dan kekuasaan. Karena kekuasaan memang harus selalu diawasi dan dicurigai oleh rakyat. Inilah yang disebut sebagai “Publik Yang Terjaga”. Public yang terus terjaga ialah publik yang senantiasa kritis,curiga,dan selalu mengawasi terhadap persolan-persoalan kekuasaan dan politik tapi tidak apatis dan alergi terhadap politik dan kekuasaan. Public yang terjaga adalah komunitas-komunitas cerdas dan tercerahkan. Ia adalah kumpulan warga yang sadar akan hak-hak politiknya. Ia berpartisipasi dalam politik tidak hanya saat pemilu atau pilkada. Ia terus berpartisipasi dalam setiap proses politik yang terjadi. Ia juga bukan warga yang menggantungkan perubahan lahir dari seorang pemimpin yang dipilihnya. Sebab, perubahan baginya adalah terlahir dari kesadaran kolektif dan kerja keras semua elemen anak bangsa.
Hanya persoalannya, dari manakah kita memulai melahirkan komunitas-komunitas “public yang terjaga” ini. Sebab, komunitas seperti itu akan tumbuh dan lahir ketika rakyat telah mengalami penguatan secara sosial,ekonomi,dan juga politik.
Rakyat tidak boleh terlalu berharap lebih perubahan akan cepat datang dari dunia politik dan kekuasaan. Sebab kekuasaan yang baik itu lahir dari kesadaran dan kebaikan kolektif masyarakat. Sejatinya, perubahan itu lahir dari sisi kultural. Ia adalah hasil pendidikan yang panjang –bahkan melelahkan- namun memiliki implikasi yang kuat untuk membangun kesadaran terhadap masyarakat. Kita dulu berharap peran edukasi itu dilakukan oleh partai politik, namun yang terjadi adalah hanya kampanye politik bahkan terjadi pembodohan politik yang tersistematis.
Kita juga sesungguhnya berharap kepada ulama untuk senantiasa menjaga moral rakyat dan para penguasa. Sayangnya, sebagian dari mereka menjadi bagian dari kekuasaan. Mereka sibuk dengan dunia politik yang mereka geluti itu, bahkan mereka telah berubah menjadi kaum-kaum realis, kaum yang memahami bahwa politik dengan segala macam keburukannya adalah sesuatu yang realistis. Tak ada tempat lagi bagi idealisme. Karena baginya idealisme hanya penghambat jalan menuju kekuasaan.
Kini, kita sangat membutuhkan gerakan-gerakan kultural bergeliat kembali. Membangkitkan kesadaran masyarakat yang telah mulai kehilangan harapan. Membangun kembali kesadaran bahwa perubahan itu tidak akan jatuh dari langit atau diberikan oleh para penguasa secara cuma-cuma dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Gerakan kultural ini gerakan yang mampu mengembalikan kepercayaan diri rakyat terhadap kemampuannya sendiri, mengembalikan semangat dan idealisme yang saat ini cenderung hilang. Yaitu, gerakan kultural yang mampu melahirkan pribadi-pribadi yang bersandarkan pada ketuhanan, membangkitkan etos kerja, kedisiplinan, dan kejujuran. Dan saya ragu peran seperti ini akan bisa dilakukan oleh gerakan struktural semacam partai politik an sih. Dan tentu saja peran ini harus dimainkan oleh organisasi-organisasi, tokoh-tokoh, dan seluruh kalangan yang bergerak diwilayah kultural, suatu wilayah yang jauh dari ambisi kekuasaan serta materi dan hanya benar-benar bertujuan untuk mendidik dan membina masyarakat.Wallahu’alam.