(Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Banten, Januari 2009)
Penganjur demokrasi percaya bahwa demokrasi adalah system terbaik didunia ini. Begitupun dengan kalangan yang pernah merasakan system otoritarianisme, demokrasi adalah surganya kebebasan. Ekspresi politik dari spectrum manapun tak bisa dihalang-halangi. Yang dahulu dilarang kini semua bebas bersuara lantang, bahkan berteriak sampai serak sekalipun. Tapi demokrasi yang dianggap sebagai surga ini bisa menjadi neraka yang bisa membakar penghuninya. Demokrasi yang awalnya membahagiakan, semakin lama menunjukan wajah yang meyeramkan dan menakutkan. Demokrasi bak monster yang setiap saat siap menelan siapa saja yang tak siap mengikuti irama demokrasi saat ini.
Demokrasi yang kita harapkan mewarnai perjalanan social politik keindonesiaan masa kini adalah demokrasi substansial. Demokrasi yang memberikan kebebasan namun penuh tanggung jawab, demokrasi yang mencerdaskan rakyatnya, demokrasi yang menjadikan para politisi menjadi negarawan, dan yang lebih penting adalah demokrasi yang mampu mensejahterakan rakyatnya.
Namun sejak lahirnya demokrasi di negri ini, demokrasi baru berjalan sebatas procedural. Demokrasi yang hadir hanya hiruk pikuk dari pemilu ke pemilu dan dari pilkada ke pilkada. Sementara, dari pesta politik (pemilu) itu tak juga memberikan titik terang perbaikan, malah harapan perbaikan itu semakin hari semakin tenggelam ditelan hiruk pikuk perebutan kekuasaan para elit dan pemilik modal.
Pemilu dan pilkada yang diharapkan menjadi sarana untuk memilih pemimpin yang mampu memberikan harapan perubahan dari waktu ke waktu semakin membosankan. Rakyat mulai bosan, memilih tapi tidak membawa perubahan. Rakyat mulai jengah, memilih tapi janji politik tidak pernah direalisasikan.
Hiruk pikuk politik kita menjadi gila. Partai tidak lagi menjadi sarana rekrutmen politik calon-calon pemimpin yang memiliki kredibilitas moral dan kompetensi. Partai terhegemoni para pemilik modal (kapitalis) dalam menentukan siapakah yang akan dicalonkan menjadi Bupati, Walikota, Gubernur, Presiden, dan Anggota Legislatif.
Akhirnya, kini rakyat pun ikut menjadi ‘gila’, siap memilih asal ada sembako, kaos, duit, dan logistic lainnya. Perilaku ini muncul karena diajarkan oleh para pemimpin nya yang merupakan produk dari partai politik. Padahal semestinya, peran partai politik itu mencerdaskan bukan melakukan pembodohan politik. Berat rasanya berharap perubahan itu dari partai politik. Dunia politik adalah dunia abu-abu, percampuran antara idealisme dan pragmatisme. Bahkan kini semakin teridentifikasi hampir semua partai politik mengidap penyakit pragmatisme ini.
Mungkin menyebut hampir semua partai teridentifikasi virus pragmatisme ada yang menganggap berlebihan. Namun, anggapan ini muncul karena rakyat selalu disuguhi dagelan politik yang membingungkan. Besok mengkritik, besoknya lagi memberi dukungan. Kemarin tidak setuju terhadap suatu kebijakan, sekarang menyatakan setuju. Kata orang politik “inilah politik, tak ada kawan dan lawan abadi”. Tak salah memang, tapi rakyat dibuat bingung, padahal rakyat membutuhkan konsistensi dalam bersikap dari para pemimpin nya.
Demokrasi Pasar
Demokrasi kita kini tak ubahnya seperti system ekonomi pasar. Pemerintah atau institusi memiliki peran yang kecil, bahkan terhegemoni oleh para pemilik modal (pelaku pasar). Partai politik pun kini tak ubahnya ibarat produk yang bebas diperjualbelikan oleh siapa saja. Ideology yang melekat pun mengalami deficit secara perlahan. Ideology atau identitas yang dimiliki partai tak lagi penting untuk dilanjutkan. Yang penting dalam pemilu atau pilkada bisa menang, meskipun calon pemimpin maupun calon wakil rakyat yang diusung dari latar belakang apapun. Partai politik saat ini menjajakan secara bebas untuk mengahantarkan seseorang menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Siapa saja boleh mengajukan diri lewat partai. Artis ataupun petualang politik silahkan saja, yang penting punya uang dan popularitas, tak peduli masalah kompetensi dan kredibilitas.
Fenomena inilah yang disebut oleh saudara Fitron Nurikhsan dalam tulisannya di Fajar Banten (16/10/2008) sebagai Era Individual. Factor partai tak lagi menjadi penting. Ia tergerus oleh arus kompetisi demokrasi pasar yang membuat partai telah terhegemoni oleh individu-individu yang dapat memenuhi selera pasar. Dalam system demokrasi seperti ini, uang dan popularitas menjadi raja. Sebab, system politik kita sangat berbiaya tinggi (high cost), karena untuk kampanye, partai butuh logistik untuk memasarkan calon dari partai tersebut. Selain logistik untuk kampanye, partai atau calon pemimpin juga kerap mengalokasikan dana untuk sekedar tanda jadi dengan para pemilih berupa uang, sembako, kerudung, dan yang lainnya. Jadilah politik kita menjadi Politic Transaksional.
Pemilu 2009 nanti juga akan menjadi pertarungan individu-individu. Apalagi sistem politik kita sekarang ini mengalami perubahan dari semi terbuka menjadi terbuka murni setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan untuk menetapkan perolehan kursi berdasarkan suara terbanyak. Nomor urut tidak lagi menjadi patokan.
Masyarakat yang memilih karena faktor partai akan berkurang. Uang, popularitas, kekerabatan, dan faktor keluarga akan menjadi trend perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya pada pemilu 2009 nanti. Lihatlah caleg-caleg yang bermunculan, dari kalangan artis, pengusaha, dan tokoh-tokoh lokal. Meskipun secara pengalaman politik, kompetensi kedewanan, dan skill kepemimpinan sangat minim. Namun, caleg yang seperti itu sangat potensial menyumbang suara yang signifikan bagi partai.
Jalan Sosial
Ada sebagian kalangan melihat fakta demokrasi yang tumbuh begitu karut marut ini menginginkan kembali kepada sistem lama. Lebih tenang dan aman katanya. Tapi untuk kembali kepada sistem masa lalu tentu saja bukan suatu kemajuan. Kita saat ini hanya perlu berhenti sejenak untuk merenungi sejauh mana perjalanan keindonesiaan kita. Era transisi dari otoritarianisme menuju demokratisasi memang memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi buruk.
Kita mungkin pesimis terhadap politik serta institusi-intitusi politik yang ada untuk bisa mewujudkan perubahan. Tapi, kita harus tetap optimis menatap masa depan. Sejatinya perubahan bisa dilakukan lewat jalan lain, yaitu jalan sosial. Sejatinya, perubahan yang sukses, transisi menuju demokrasi yang berhasil, adalah perubahan yang berbasiskan publik. Untuk itu yang dapat ditempuh adalah jalan sosial, yaitu memperkuat gerakan-gerakan sosial guna membangun dan terus menguatkan publik. Yakni, dengan cara membangun dan menguatkan segmen-segman masyarakat yang tahu benar hak-hak mereka dan berjuang secara pro aktif untuk membuat hak-hak itu tegak serta melawan atas pelanggaran atas hak mereka.
Menurut Eep Saefulloh Fatah dalam buku nya Membangun Indonesia Dengan Amal , jalan sosial bisa dilakukan dengan beragam cara. Bisa sendirian : setiap orang menjadikan dirinya sebagai bagian dari “publik yang terus terjaga”. Bisa lewat penguatan organisasi-organisasi komunitas, karena organisasi merupakan modal sosial bagi demokrasi. Bisa melalui cara-cara institusional, melalui demokratisasi institusi-institusi pendidikan misalnya. Dan tentu saja bisa melalui penguatan gerakan dan jaringan publik. Wallahu’alam.